Spiga

Polymerase Chain Reaction

PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang primer.
Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 yang merupakan seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Pada awal perkembangannya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul mRNA.

Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu sebelum proses pelipatgandaan tersebut dilakukan karena terkait untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase.
Komponen dan tahapan PCR
Penggunaan urutan basa nukleotida berlangsung melalui reaksi polimerisasi yang dilakukan berulang-ulang secara berantai selama beberapa putaran (siklus). Tiap reaksi polimerisasi membutuhkan komponen-komponen sintesis DNA seperti untai DNA yang akan digunakan sebagai cetakan (template), molekul oligonukleotida untai tunggal ujung 3’-OH bebas yang berfungsi sebagai precursor (primer), sumber basa nukleotida berupa empat macam dNTP (dATP, dGTP, dCTP, dTTP), enzim polimerase, serta larutan penyangga berupa buffer.
1. DNA template adalah DNA untai ganda yang membawa urutan basa fragmen atau gen yang akan digandakan. Urutan basa ini disebut juga urutan target (target sequence). Penggandaan urutan target pada dasarnya merupakan akumulasi hasil polimerisasi molekul primer. Jumlah yang digunakan dalam proses PCR tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas hasil PCR, tetapi jumlah dalam ukuran pikogram sudah cukup. Apabila target yang digunakan berupa total DNA genome, ada baiknya kalau DNA tersebut dipotong terlebih dahulu dengan enzim tertentu sehingga potongan DNA yang dihasilkan masih berukuran cukup besar, misalnya enzim SalI atau NotI yang mempunyai sedikit situs pemotongan di dalam total DNA genome.
2. Primer adalah molekul oligonukleotida untai tunggal yang terdiri atas sekitar 30 basa. Polimerisasi primer dapat berlangsung karena adanya penambahan basa demi basa dari dNTP yang dikatalisasi oleh enzim DNA polimerase. Namun, pada PCR enzim DNA polimerase yang digunakan harus termostabil karena salah satu tahap reaksinya adalah denaturasi untai ganda DNA yang membutuhkan suhu sangat tinggi (± 95°C). Salah satu enzim DNA polimerase yang umum digunakan adalah Taq DNA polimerase, yang berasal dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Ada beberapa catatan terkait dengan jumlah basa yang digunakan dalam urutan primer apabila PCR digunakan dalam analisis RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA), ukuran primer tidak boleh lebih panjang dari 10 basa nukleotida. Dalam hal ini, kita memang tidak membutuhkan penempelan primer ke DNA target secara spesifik tetapi secara acak (random). Biasanya, konsentrasi primer yang dibutuhkan dalam proses PCR sekitar 1µM yang sudah cukup digunakan untuk sedikitnya 30 siklus. Primer yang diberikan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan penempelan pada sekuen DNA yang salah sehingga hasil PCR yang didapatkan tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya apabila primer berkonsentrasi rendah, proses PCR tidak dapat berjalan secara efisien, karena hasil amplifikasi yang diperoleh akan sangat sedikit. Penentuan konsentrasi primer secara tepat kadang-kadang harus melalui uji coba dengan menggunakan primer pada konsentrasi sangat rendah sampai konsentrasi sangat tinggi.
3. Enzim Taq Polymerase yang beredar saat ini terdiri atas dua macam, yaitu enzim alami (native) yang diisolasi dari sel bakteri Thermus aquaticus dan enzim rekombinan yang disintesis di dalam sel bakteri E. coli. Pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara keduanya sehingga kita dapat menggunakan keduanya. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan tidak lebih dari 1 unit. Penggunaan 0,3 unit enzim masih memberikan hasil PCR yang berkualitas baik. Namun demikian, konsentrasi enzim yang berlebihan dapat menyebabkan amplifikasi DNA pada sekuen yang bukan target.
4. Deoxyribonucleoside Triphosphate (dNTPs) merupakan material utama yang dibutuhkan untuk sintesis DNA baru dalam proses PCR. Konsentrasi yang dibutuhkan sebanyak 200µM untuk tiap dNTP yang terdiri atas dATP, dGTP, dCTP, dTTP. Material ini tersedia dalam bentuk campuran keempat dNTP tersebut atau dalam bentuk terpisah satu sama lain.
5. Larutan penyangga (buffer) yang biasa digunakan untuk reaksi PCR mengandung 10 mM Tris-HCl pH 8,3 50 mM KCl dan 1,5mM MgCl2. Keberadaan ion Mg sangat penting dan perlu disesuaikan konsentrasinya apabila ada perubahan konsentrasi pada DNA target atau primer atau dNTP.
Tiap putaran reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu denaturasi template, penempelan primer (annealing) dan polimerisasi primer yang masing-masing berlangsung pada suhu lebih kurang 95°C, 50°C dan 70°C.
Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA template terpisah satu sama lain karena terputusnya ikatan hidrogen antar basa-basanya sehingga menjadi untai tunggal.
Pada tahap selanjutnya, masing-masing untai tunggal akan ditempeli primer. Jadi, ada dua buah primer yang masing-masing menempel pada untai tunggal DNA template. Biasanya, kedua primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan primer mundur (reverse primer). Sepasang primer tersebut akan berhibridisasi menjadi sekuen komplementer pada untai tunggal DNA. Pasangan primer tersebut dipilih sedemikian rupa agar satu primer bersifat komplementer terhadap salah satu ujung gen yang diinginkan pada salah satu rantai. Sementara itu, primer kedua bersifat komplementer dengan ujung yang lainnya pada untai DNA yang satu lagi. Primer akan membentuk ikatan hidrogen dengan sekuen komplementernya sehingga terbentuklah molekul untai ganda yang stabil.
Setelah menempel pada untai DNA template, primer mengalami polimerisasi mulai dari tempat penempelannya hingga ujung 5’ DNA template (ingat: polimerisasi DNA selalu berjalan dari ujung 5’ ke ujung 3’ atau berarti dari ujung 3’ ke ujung 5’ untai template nya). Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi pertama akan diperoleh dua pasang untai DNA jika DNA template awalnya berupa sepasang untai DNA.
Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir putaran reaksi akan menjadi template pada putaran reaksi berikutnya. Begitu seterusnya hingga pada putaran yang ke n diharapkan akan diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2n-2n. Fragmen DNA pendek yang dimaksudkan adalah fragmen yang ukurannya sama dengan jarak antara kedua tempat penempelan primer. Fragmen pendek inilah yang merupakan ukuran target yang memang dikehendaki untuk digandakan (diamplifikasi).

Gambar 1. Siklus Pembentukan Molekul DNA baru dalam Proses PCR
Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran saja, maka pada akhir reaksi akan diperoleh fragmen urutan target sebanyak 220-2(20) = 1.048.576-40 = 1.048.536. Jumlah ini masih dengan asumsi bahwa DNA template awalnya hanya satu untai ganda. Padahal kenyataanya, hampir tidak mungkin DNA template awal hanya berupa satu untai ganda. Jika DNA template awal terdiri atas 20 untai ganda saja, maka jumlah tadi tinggal dikalikan 20 menjadi 20.970.720, suatu jumlah yang sangat cukup bila akan digunakan sebagai fragmen pelacak.

DAFTAR PUSTAKA
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Edisi I. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda dan USESE Foundation. Hal 61-65.
Stansfield, W.D; J. S. Colone; and R. J. Cano. 2003. Moleculer and Cell Biology. Mc. Graw-Hill Companies. Hal 84.
Susanto, A.H. 2008. Polymerase Chain Reaction. Unsoed
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Hal 01-02.


0 komentar:

Artikel Terkait