Produk Rekayasa genetika (PRG) diartikan sebagai suatu organisme yang memiliki material genetik yang diperoleh dari teknik rekayasa genetika. Prinsip umum dalam menghasilkan PRG dilakukan dengan mengintroduksi material genetika baru ke dalam genom individu. Teknologi rekayasa genetika secara konservatif telah dilakukan seiring dengan perkembangan cabang ilmu genetika melalui proses perkawinan silang untuk mendapatkan bibit unggul. Perkembangan rekayasa modern dilakukan dengan proses yang lebih cepat melalui rekombinan secara in vitro (di luar sel makhluk hidup) sehingga memungkinkan mencangkok (kloning) hanya satu jenis gen yang diinginkan dalam waktu yang lebih cepat).
Produk Rekayasa genetika (PRG) diartikan sebagai suatu organisme yang memiliki material genetik yang diperoleh dari teknik rekayasa genetika. Prinsip umum dalam menghasilkan PRG dilakukan dengan mengintroduksi material genetika baru ke dalam genom individu. Teknologi rekayasa genetika secara konservatif telah dilakukan seiring dengan perkembangan cabang ilmu genetika melalui proses perkawinan silang untuk mendapatkan bibit unggul. Perkembangan rekayasa modern dilakukan dengan proses yang lebih cepat melalui rekombinan secara in vitro (di luar sel makhluk hidup) sehingga memungkinkan mencangkok (kloning) hanya satu jenis gen yang diinginkan dalam waktu yang lebih cepat). Isu yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa produk rekayasa genetika (PRG) merupakan produk yang berbahaya bagi kesehatan. Apakah hal itu benar? WHO dalam situsnya menyatakan bahwa semua produk yang terdapat di pasar internasional telah melalui uji resiko yang dilakukan masing-masing oleh lembaga yang berwenang. Dari pernyataan ini, apabila pengujian ini memang dilakukan dengan objektif dan prosedur yang benar, maka seharusnya tidak ada resiko kesehatan dan lingkungan dari PRG. Lalu bagaimanakan dengan regulasi peraturan dari pemerintah Indonesia mengenail PRG? Mengenai PRG sendiri di Indonesia diatur dalam UU Nomor 7 tentang Pangan yang memperbolehkan penggunaan produk pangan transgenik. UU diperkuat dengan PP No. 69/1999 tentang label dan iklan pangan dan PP No. 28/2004 tentang keamanan mutu dan gizi pangan yang menjelaskan mengenai definisi, pemeriksaan keamanan, serta persyaratan dan tata cara pemeriksaan pangan produk rekayasa genetika. Dalam PP No. 69/1999 pasal 35 disebutkan bahwa pada label untuk pangan rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan PANGAN REKAYASA GENETIK. Dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa dalam hal pangan hasil rekayasa genetika merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja. Meskipun demikian YLKI meminta pengaturan mengenai ambang batas kandungan maksimum bahan rekayasa genetika yang terdapat dalam satu produk. Hasil pengujian YLKI menunjukkan adanya beberapa produk yang disebut positif mengandung rekayasa genetika, antara lain:
1. Tahu pong halus “Poo” produksi Sari Lezat
2. Tofu Jepun produksi Kong Kee Food
3. Tempe murni Super Djimmy
4. Susu kedelai coklat merk Sarinah
5. Susu kedelai Ohayo produksi Harum Sari Food
6. Susu formula Nutrilon Soya produksi Nutricia
7. Corn Flakes Petaled De Mais produksi Pacifik Food
8. Keripik kentang Pringleys produksi P&G
9. Tepung jagung/Maizena merk Honig
Terkait dengan isu PRG, dalam situs inilah.com, Departemen Pertanian hingga saat ini belum mengeluarkan PRG secara komersial ke petani. Padahal beberapa penelitian bioteknologi telah dilakukan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Litbangtan). Kepala Badan Litbang Deptan, Achmad Suryana menyatakan hal itu disebabkan berbagai kelemahan dan kesempatan yang dimiliki baik sumber daya manusia, dana, fasilitas dan peraturan. Pada saat ini belum satupun tanaman produk rekayasa genetika produksi dalam negeri yang telah dikeluarkan secara komersial untuk petani. Namun demikian, menurut dia, pemerintah menaruh harapan besar terhadap hasil penelitian bioteknologi agar berperan dalam mencapai swasembada pangan.
Sebenarnya ada dua varietas tanaman padi yang dihasilkan oleh Badan Litbang, yaitu varietas Code dan Angke. Kedua varietas itu tahan terhadap penyakit hawar daun dan saat ini telah memberikan manfaat kepada petani di daerah endemic penyakit hawar daun bakteri. Kedua varietas tersebut dapat secara cepat dilepas ke petani karena proses pembuatannya tidak menggunakan proses rekayasa genetika, sehingga dalam pelepasannya tidak harus melalui pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan.
Saat ini, Balai Besar Penelitian Bioteknologi, Badan Litbang Pertanian telah mendapatkan beberapa kandidat tanaman transgenik yang memiliki sifat baik dan dapat dikembangkan lebih lanjut serta dimanfaatkan petani. Selain itu, Puslit Bioteknologi LIPI dengan beberapa Kelti telah mengembangkan penelitian untuk menghasilkan tanaman transgenik padi yang telah sampai pada tahap uji lapangan.
Produk Rekayasa genetika (PRG) diartikan sebagai suatu organisme yang memiliki material genetik yang diperoleh dari teknik rekayasa genetika. Prinsip umum dalam menghasilkan PRG dilakukan dengan mengintroduksi material genetika baru ke dalam genom individu. Teknologi rekayasa genetika secara konservatif telah dilakukan seiring dengan perkembangan cabang ilmu genetika melalui proses perkawinan silang untuk mendapatkan bibit unggul. Perkembangan rekayasa modern dilakukan dengan proses yang lebih cepat melalui rekombinan secara in vitro (di luar sel makhluk hidup) sehingga memungkinkan mencangkok (kloning) hanya satu jenis gen yang diinginkan dalam waktu yang lebih cepat). Isu yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa produk rekayasa genetika (PRG) merupakan produk yang berbahaya bagi kesehatan. Apakah hal itu benar? WHO dalam situsnya menyatakan bahwa semua produk yang terdapat di pasar internasional telah melalui uji resiko yang dilakukan masing-masing oleh lembaga yang berwenang. Dari pernyataan ini, apabila pengujian ini memang dilakukan dengan objektif dan prosedur yang benar, maka seharusnya tidak ada resiko kesehatan dan lingkungan dari PRG. Lalu bagaimanakan dengan regulasi peraturan dari pemerintah Indonesia mengenail PRG? Mengenai PRG sendiri di Indonesia diatur dalam UU Nomor 7 tentang Pangan yang memperbolehkan penggunaan produk pangan transgenik. UU diperkuat dengan PP No. 69/1999 tentang label dan iklan pangan dan PP No. 28/2004 tentang keamanan mutu dan gizi pangan yang menjelaskan mengenai definisi, pemeriksaan keamanan, serta persyaratan dan tata cara pemeriksaan pangan produk rekayasa genetika. Dalam PP No. 69/1999 pasal 35 disebutkan bahwa pada label untuk pangan rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan PANGAN REKAYASA GENETIK. Dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa dalam hal pangan hasil rekayasa genetika merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja. Meskipun demikian YLKI meminta pengaturan mengenai ambang batas kandungan maksimum bahan rekayasa genetika yang terdapat dalam satu produk. Hasil pengujian YLKI menunjukkan adanya beberapa produk yang disebut positif mengandung rekayasa genetika, antara lain:
1. Tahu pong halus “Poo” produksi Sari Lezat
2. Tofu Jepun produksi Kong Kee Food
3. Tempe murni Super Djimmy
4. Susu kedelai coklat merk Sarinah
5. Susu kedelai Ohayo produksi Harum Sari Food
6. Susu formula Nutrilon Soya produksi Nutricia
7. Corn Flakes Petaled De Mais produksi Pacifik Food
8. Keripik kentang Pringleys produksi P&G
9. Tepung jagung/Maizena merk Honig
Terkait dengan isu PRG, dalam situs inilah.com, Departemen Pertanian hingga saat ini belum mengeluarkan PRG secara komersial ke petani. Padahal beberapa penelitian bioteknologi telah dilakukan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Litbangtan). Kepala Badan Litbang Deptan, Achmad Suryana menyatakan hal itu disebabkan berbagai kelemahan dan kesempatan yang dimiliki baik sumber daya manusia, dana, fasilitas dan peraturan. Pada saat ini belum satupun tanaman produk rekayasa genetika produksi dalam negeri yang telah dikeluarkan secara komersial untuk petani. Namun demikian, menurut dia, pemerintah menaruh harapan besar terhadap hasil penelitian bioteknologi agar berperan dalam mencapai swasembada pangan.
Sebenarnya ada dua varietas tanaman padi yang dihasilkan oleh Badan Litbang, yaitu varietas Code dan Angke. Kedua varietas itu tahan terhadap penyakit hawar daun dan saat ini telah memberikan manfaat kepada petani di daerah endemic penyakit hawar daun bakteri. Kedua varietas tersebut dapat secara cepat dilepas ke petani karena proses pembuatannya tidak menggunakan proses rekayasa genetika, sehingga dalam pelepasannya tidak harus melalui pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan.
Saat ini, Balai Besar Penelitian Bioteknologi, Badan Litbang Pertanian telah mendapatkan beberapa kandidat tanaman transgenik yang memiliki sifat baik dan dapat dikembangkan lebih lanjut serta dimanfaatkan petani. Selain itu, Puslit Bioteknologi LIPI dengan beberapa Kelti telah mengembangkan penelitian untuk menghasilkan tanaman transgenik padi yang telah sampai pada tahap uji lapangan.
0 komentar:
Posting Komentar