Spiga

Protein Tanpa Bentuk yang Menjaga Fungsi Otak

Otak kita mengontrol seluruh aktivitas tubuh termasuk emosi, kecerdasan dan menyimpan memori. Untuk itu, penyakit yang menyerang sel otak atau neuron (neurodegenerative disease) seperti Alzheimer, Parkinson, Huntington dan Creutzfedlt-Jakob (CJD) berakibat fatal karena melumpuhkan fungsi kemanusiaan kita yang paling esensial itu.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh protein-protein tak terbentuk yang secara alamiah ada dalam sel namun berubah menjadi patogen dengan menunjukkan bentuk atau strukturnya.

Pemahaman kita terhadap protein selama ini menyatakan bahwa protein selalu harus memiliki bentuk alias struktur agar dapat berfungsi. Protein adalah rantai asam amino dengan panjang minimal 50-an asam amino yang melalui proses pelipatan (folding) menemukan strukturnya yang unik. Keunikan yang dimaksud dari 350 kemungkinan struktur yang ada (3 arah sumbu x, y, z dari 50 asam amino penyusun protein dengan ukuran terkecil), hanya satu yang dipilih.
Proses pelipatan ini demikian kompleks dan menyimpan banyak misteri sehingga kemampuan untuk kita melakukan rekayasa terhadap protein masih terbatas. Tidak heran, salah satu super komputer tercepat di dunia bernama Blue Gene yang dibuat oleh IBM, khusus diperuntukkan dalam melakukan simulasi bagaimana protein melipat.
Untuk mengurai kompleksitas struktur protein, ilmuwan membagi struktur protein berdasarkan beberapa parameter. Menurut parameter hierarki dalam proses pelipatan, struktur protein dibagi menjadi struktur primer yaitu sekuen asam aminonya, struktur sekunder yaitu struktur lokal seperti alfa helix, beta sheet, turn, dan random, struktur tersier yaitu struktur keseluruhan satu rantai protein dan terakhir struktur kuartener yaitu struktur keseluruhan protein yang memiliki lebih dari satu rantai.
Pentingnya struktur dalam memahami fungsi protein yang sangat beragam mulai dari enzim, hormon, antibodi, reseptor dan sebagainya tampak dari berbagai usaha peneliti mengembangkan teknik untuk menganalisa dan melihat bentuk protein tersebut. Mulai dari teknik kristalografi sinar-X yang dikembangkan oleh Max Perutz dan Jon Kendrew (menerima nobel Kimia tahun 1962), teknik mikroskop elektron oleh Aaron Klug (Nobel Kimia 1982), teknik spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance) oleh Kurt Wuthrich, dan teknik spektrometri massa oleh Koichi Tanaka serta John Fenn (bertiga bersama-sama menerima Nobel Kimia 2002).
Usaha menentukan struktur protein secara eksprimen dirasa semakin penting sehingga pusat data koordinat struktur protein yaitu Protein Data Bank menerima penambahan data yang terus bertambah secara eksponensial dan didirikannya konsorsium internasional penentuan struktur protein. Tidak mau kalah, para ilmuwan non-eksperimen basah yang mengandalkan kekuatan komputer melakukan prediksi dan simulasi struktur protein yang dikompetisikan setiap tahun. Berbagai pusat data juga dibuat untuk mengklasifikasikan protein berdasar strukturnya seperti SCOP.
Di tengah ramainya perhatian terhadap pentingnya bentuk atau struktur dalam memahami fungsi protein itu, satu kejutan lahir dengan ditemukannya protein yang secara alamiah tidak memiliki struktur yang tetap alias tak berbentuk. Stanley Prusiner, penerima Nobel Kedokteran tahun 1997, menemukan bahwa protein bernama prion dalam kondisi normal tidak memiliki struktur yang jelas namun kemudian berubah menjadi abnormal yang menyebabkan penyakit (bersifat patogen) dengan membentuk struktur tertentu.
Prion ini menyebabkan penyakit CJD pada manusia dan sapi gila/BSE pada sapi atau domba. Dimulai dari kondisi normal tak berbentuk, sebagian dari rantai asam amino protein itu melipat biasanya jadi struktur sekunder beta-sheet, lalu mulai terjadi pengendapan/agregasi dalam bentuk serat. Pengendapan yang intensif dalam sel otak inilah yang akhirnya menyebabkan sel itu mati.
Mekanisme serupa telah ditemukan sebelumnya pada protein beta-amyloid yang menyebabkan penyakit Alzheimer. Dengan demikian, protein yang telah menjadi serat dan mengendap itu dinamakan amuloyd-like fibril (serat mirip amyloid). Setelah itu, penyakit kerusakan otak yang penting lainnya diketahui disebabkan oleh mekanisme yang diderita oleh petinju legendaries Muhammad Ali dan aktor film Back to the future, Michael J Fox serta protein Huntington pada penyakit Huntington. Kehadiran protein-protein itu masih belum diketahui dengan jelas seperti hasil eksperimen dengan tikus percobaan yang telah dihilangkan gen penyandi protein prionnya tanpa memberikan efek fisiologis.
Pengobatan
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang mujarab untuk penyakit-penyakit ini sehingga penderitanya seperti harus pasrah menunggu maut sambil terus digerogoti kemampuan otaknya. Walau demikian, para peneliti mulai mengembangkan obat hasil bioteknologi, pertama menggunakan antibodi. Pada tahun 2003, Cashman dari Kanada dan Hawke dari Inggris secara terpisah telah berhasil memperoleh antibodi yang spesifik berikatan dengan protein prion abnormal. Menggunakan antibodi ini, interaksi antara protein normal dengan protein abnormal bisa dicegah sehingga perkembangan penyakit bisa dihambat sampai disembuhkan. Keberhasilan ini member inspirasi untuk mengobati penyakit kerusakan otak lainnya dengan cara yang sama.
Bard dan Liu, masing-masing mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal Proc. Natl. Acad. Sci. USA (2003) dan Biochemistry (2004) mengenai pengembangan antibodi yang mengenali protein beta-amyloid penyebab Alzheimer yang dapat mencegah pengendapan protein abnormal. Hasil penelitian ini telah dicoba pada eksperimen invitro (di luar sel terhadap protein saja) dan invivo (di dalam sel seperti kondisi sesungguhnya). Untuk penyakit Huntington, Heiser dan Leceft telah mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai pengembangan antibodi yang dapat menghambat agregasi protein Huntington. Heiser mendapatkan antibodi yang diberi nama 1C2 yang berikatan dengan sekuen polyQ dari protein Huntington. Sementara Heiser memperoleh antibodi C4 yang mengenali sekuen nomor 1-17 protein Huntington. Terakhir, protein alfa synuclein penyebab penyakit Parkinson telah coba dihalangi pengendapannya dengan antibodi oleh Emadi pada tahun 2004. Antibodi yang dikembangkan mengenali dua lokasi sekaligus dalam protein alfa synuclein, yaitu sekuen nomor 27-37 dan nomor 101-111.
Pembuatan antibodi tidak mudah dan memerlukan biaya tinggi sehingga produknya menjadi mahal. Hal ini mendorong dikembangkannya bentuk pengobatan kedua dengan bioteknologi. Prof. Koji Sode dari Tokyo University of Agriculture and Technology, menggunakan teknik rekayasa protein telah berhasil membuat protein alfa synuclein versi mutan yang memiliki sifat pengendapan dan pembentukan serat, jauh lebih kecil daripada aslinya. Ketika protein mutan ini dicampur dengan protein asli, pembentukan serat menurun dramatis sampai 10% dari kontrol tanpa pencampuran protein mutan yang mencapai 100%. Diperkirakan, interaksi antara protein mutan dan protein normal itu mencegah terjadinya pengendapan yang berlanjut pada pembentukan serat, sebagaimana mekanisme pencegahan oleh antibodi.

Sumber: Kompas



Readmore »»

Laboratorium

Laboratorium merupakan tempat dilakukannya riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah. Laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali. Laboratorium ilmiah biasanya dilakukan menurut disiplin ilmunya, misalnya laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biokimia, laboratorium komputer dan laboratorium bahasa.

Level Keselamatan Biologi
Level tingkatan keselamatan diperlukan untuk penanganan agen biologi. Centers for Disease Control and Preventation atau pusat pencegahan dan penanganan penyakit yang berpusat di Amerika Serikat menspesifikasikan empat level penanganan keselamatan biologi.
Contoh laboratorium dengan keselamatan biologi adalah USAMRIID (U.S. Army Research Institute for Infectious Diseases).
Level Keselamatan Biologi 1
Level ini diperuntukkan bagi agen-agen yang diketahui tidak menyebabkan penyakit pada manusia dewasa yang sehat dan bahaya potensial yang minimal bagi pekerja laboratorium dan lingkungan. Laboratorium tidak memerlukan lokasi terpisah dari lokasi umum dalam suatu bangunan. Contoh agen biologi kategori level keselamatan biologi 1 antara lain: Bacillus subtilis, hepatitis, E. coli dan virus cacar air.
Level Keselamatan Biologi 2
Level ini memiliki kesamaan dengan level keselamatan biologi 1. Perbedaannya terletak pada beberapa hal berikut:
1. Pekerja laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam penanganan agen-agen patogenik dan berada di bawah arahan ilmuwan yang berkompeten di bidangnya.
2. Akses ke laboratorium dibatasi ketika pekerjaan tengah dilakukan terkait dengan aktivitas penelitian.
3. Penanganan khusus bagi barang-barang tajam.
4. Prosedur khusus bagi pekerjaan dengan gas atau tumpahan mengandung agen berinfeksi dilakukan di dalam wadah khusus.
Contoh agen biologi kategori level keselamatan biologi 2 antara lain: hepatitis B, hepatitis C, Flu, virus west nyle dan Salmonella.
Level Keselamatan Biologi 3
Ditujukan bagi fasilitas klinis, diagnostik, riset atau produksi yang berhubungan dengan agen-agen eksotik yang dapat mengakibatkan potensi terkena penyakit berbahaya. Pekerja laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam penanganan agen-agen patogenik berbahaya dan diawasi oleh ilmuwan-ilmuwan berkompetensi yang berpengalaman dalam bekerja dengan agen-agen tersebut. Contoh agen biologi kategori level keselamatan biologi 3 adalah: anthrax, HIV, SARS, Tubercolosis, virus cacar, thypus dan avian influenza.
Semua prosedur menyangkut penanganan material berbahaya dilakukan dalam wadah tertutup oleh pekerja yang memakai peralatan dan baju pelindung khusus. Laboratorium memiliki fasilitas dan didesain khusus untuk hal tersebut antara lain pintu akses ganda director.
Level Keselamatan Biologi 4
Dibutuhkan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan agen-agen eksotik yang ekstrim berbahaya, dimana memiliki resiko tinggi penyebaran melalui udara. Staf laboratorium memiliki pelatihan khusus dalam menangani agen-agen berbahaya tersebut. Fasilitas laboratorium terisolasi dari tempat-tempat umum. Semua pekerjaan dalam fasilitas ini dilakukan dalam tempat tertutup khusus. Pekerjanya memakai pakaian pelindung khusus lengkap dengan tabung oksigen yang tersendiri. Contoh agen biologi kategori level keselamatan biologi 4 antara lain: Ebola, virus Hanta dan virus Lassa.

Beberapa laboratorium yang berkategori level keselamatan biologi 4 antara lain:
1. Amerika Serikat
• USAMRIID di Fort Dietrich, MD
• CDC di Atlanta, GA
• NNMC di Bethesda, MD
• Southwest Foundation for Biomedical Research di San Antonio, TX
• NIAID’s Rocky Mountain Laboratories di Hamilton, MT

2. Australia
The Australian Animal Health Laboratory di Geelong yang merupakan satu-satunya laboratorium di Australia yang memiiki level keselamatan biologi 4.
3. Jerman
Marburg dan Bernhard Nocht Institute, Hamburg
4. Kanada
National Microbiology Laboratory di Winnipeg
5. Perancis
Memiliki sebuah fasilitas laboratorium level 4 di Lyon
6. Swedia
Swedish Institute for Infectious Disease Control di Solna

Sumber: Wikipedia



Readmore »»

Bioinformatika dalam pandangan biomolekuler

Bioinformatika merupakan kajian yang memadukan disiplin ilmu biologi molekul, matematika dan teknik informasi (TI). Ilmu ini didefinisikan sebagai aplikasi dari alat komputasi dan analisis untuk menangkap dan menginterpretasikan data-data biologi molekul yang merupakan bidang ilmu interdispliner dan mempelajari kehidupan dalam level molekul.
Pada saat ini, bioinformatika mempunyai peranan yang sangat penting, diantaranya adalah untuk manajemen data-data biologi molekul, terutama sekuen DNA dan informasi genetika. Perangkat utama bioinformatika dalam biomolekuler adalah software dan didukung oleh ketersediaan internet.

Namun, di Indonesia perkembangan bioinformatika belum cukup menggembirakan karena hanya sebatas dipahami dan diaplikasikan oleh peneliti biomolekuler yang mengharuskan mereka untuk menggunakan perangkat bioinformatika sebagai tools dalam analisis data. Aplikasi TI dalam bidang biomolekuler telah melahirkan bioinformatika dan kajiannya tidak bisa lepas dari perkembangan biomolekuler modern yang ditandai dengan kemampuan manusia untuk memahami genom, yaitu cetak biru informasi genetik yang menentukan sifat setiap makhluk hidup yang disandi dalam bentuk pita molekul DNA. Kemampuan untuk memahami dan memanipulasi kode genetik DNA ini sangat didukung oleh TI melalui perangkat keras maupun lunak. Hal ini bisa dilihat pada upaya Celera Genomics, perusahaan bioteknologi Amerika Serikat yang melakukan pembacaan sekuen genom manusia yang secara maksimal memanfaatkan TI sehingga bisa melakukan perjalanannya dalam waktu singkat, disbanding usaha konsorsium lembaga riset publik AS, Eropa, dan lain-lain yang memakan waktu lebih dari 10 tahun.
Kelahiran bioinformatika modern tak lepas dari perkembangan bioteknologi di era tahun 70-an, dimana seorang ilmuwan AS melakukan inovasi dalam mengembangkan teknologi DNA rekombinan. Berkat penemuan ini lahirlah perusahaan bioteknologi pertama di dunia, yaitu Genentech di AS, yang kemudian memproduksi protein hormon insulin dalam bakteri, yang dibutuhkan penderita diabetes. Selama ini insulin hanya bisa didapatkan dalam jumlah sangat terbatas dari organ pankreas sapi.
Bioteknologi modern ditandai dengan kemampuan pada manipulasi DNA. Rantai sekuen DNA yang mengkode protein disebut gen. selanjutnya gen akan ditranskripsikan menjadi mRNA, kemudian mRNA ditranslasikan menjadi protein sebagai produk akhir yang bertugas menunjang seluruh proses kehidupan, antara lain sebagai katalis reaksi biokimia dalam tubuh (disebut enzim), berperan serta dalam sistem pertahanan tubuh melawan virus, parasit dan lain-lain (disebut antibodi), menyusun struktur tubuh dari ujung kaki (otot terbentuk dari protein actin, myosin dan sebagainya) sampai ujung rambut (rambut tersusun dari protein keratin), dan lain-lain. Arus informasi, DNA-RNA-Protein, inilah yang disebut sebagai sentral dogma dalam biologi molekul.
Sekuen DNA satu organisme, yaitu pada sejenis virus yang memiliki kurang lebih 5000 nukleotida/molekul DNA atau sekitar 11 gen, berhasil dibaca secara menyeluruh pada tahun 1977. Sekuen seluruh DNA manusia terdiri dari 3 milyar nukleotida yang menyusun 100.000 gen dapat dipetakan dalam waktu 3 tahun. Saat ini terdapat milyaran data nukleotida yang tersimpan dalam database DNA, GenBank di AS yang didirikan tahun 1982. Di Indonesia, ada lembaga biologi molekul Eijkman yang terletak di Jakarta. Di sini kita bisa membaca sekuen sekitar 500 nukleotida hanya dengan membayar 15 dolar US. Tren yang sama juga terlihat pada data base lain seperti database asam amino penyusun protein, database struktur 3D protein dan sebagainya. Inovasi teknologi DNA chip yang dipelopori oleh perusahaan bioteknologi AS, Affymetrix di Silicon Valley telah mendorong munculnya database baru mengenai RNA.
Desakan kebutuhan untuk menampilkan, menyimpan, dan menganalisis data-data biologi dari database DNA, RNA maupun protein inilah yang semakin memacu perkembangan kajian bioinformatika.


Readmore »»